About me?

Foto saya
I'm humble and friendly

Senin, 03 Januari 2011

Hidup Bukan Merupakan Sebuah Perlombaan

2011 baru saja kita mulai, terompet akhir tahun dengan segala pesta perayaannya telah usai. mengingat-ingat kembali ke akhir 2010, dimana bila Anda bekerja di suatu perusahaan, biasanya pada penghujung tahun, para pemimpin perusahaan memberi atau kembali menegaskan target yang lebih besar di tahun depan yang akan dilalui bersama, atau juga kalimat motivasi yang tiba-tiba muncul di papan pengumuman atau spanduk yang dibalut dengan kata kata seperti “ Selamat merayakan tahun baru” di awalnya tulisanya. Dalam skala pribadi mungkin banyak dari pembaca yang menetapkan target untuk diri sendiri, seperti bekerja lebih keras atau mengumpulkan uang dalam jumlah lebih banyak, bangun lebih pagi setiap harinya atau mulai melakukan suatu yang baru seperti memulai usaha sampingan. Kalau kita lihat-lihat, hari ini kita semua hidup dalam sebuah dunia yang sangat menarik, menariknya adalah kita semua seolah-olah hidup dalam sebuah perlombaan akbar. Dan dalam perlombaan itu siapa yang mengumpulkan lebih banyak dan lebih cepat terutama dalam bidang materi itulah yang akan jadi pemenangnya. Dalam planet yang berpenghuni hampir tujuh milyard ini kata-kata efisisensi dan efektifitas, telah menjadi dua “resep sukses” yang mungkin sudah ribuan kali kita dengar. “Waktu adalah uang” juga sebuah doktrin tak langsung yang telah menembus ke relung bawah sadar kita, yang membuat kita selalu berkejaran dengan waktu dalam mengerjakan apapun, dan yang lebih menarik adalah anggapan bahwa apapun pekerjaan kita yang tidak menghasilkan uang adalah buang-buang waktu.

Sisi teknologi berkembang super cepat menyokong tuntutan jaman, komputer yang ada hari ini sudah puluhan bahkan ratusan kali menyimpan data lebih banyak dan ribuan kali mengakses data lebih cepat dari komputer paling canggih sepuluh tahun yang lalu, namun lagi-lagi menariknya, semakin banyak yang memaki-maki benda mati tersebut karena sering dianggap “lambat”. Seseorang yang mengetik dengan mesin tik kuno, bermimpi suatu hari punya komputer dan koneksi internet supaya bisa menghemat waktu bekerja, dengan harapan sisa waktunya bisa digunakan berkumpul dengan keluarga, namun ketika impiannya terwujud, yang terjadi adalah, waktunya untuk keluarga terhisap habis oleh kursi didepan komputer. Ada yang aneh bukan? Para sahabat yang tinggal di kota metropolitan sering berkata “Seandainya waktu dalam satu hari 36 jam”. Terburu-buru sudah menjadi merk dagang dikota-kota besar,dari bangun pagi dengan kepenatan yang menempel di sekujur tubuh kita terburu-buru mandi, berangkat kerja tanpa sarapan,ngebut di jalan, kerjaan menggunung yg rasanya tidak selesai-selesai dan dibayangi deadline, makan siang dengan menu cepat saji, dan pulang bekerja yang semakin larut. Dalam membesarkan anak pun kita ingin buru-buru, kita ingin anak-anak kita untuk menjadi cepat “dewasa”, kita memberikan segala macam cara dari makanan,pendidikan sampai cara berpikir agar si anak tumbuh lebih cepat agar bisa bersaing dengan putaran cepat roda dunia. Kita tahu bahwa masa paling indah di dunia ini adalah masa anak-anak, masa dimana kita hanya bermain dan bermain, bahkan secara jujur banyak dari kita ingin kembali ke masa indah tersebut dan menikmatinya lebih lama.
Kata sibuk sudah menjadi makanan sehari-hari bagi sahabat yang tinggal di kota besar.” Tidak punya waktu” adalah alasan terfavorit untuk tidak berolahraga misalnya dan ada juga yang bangga ketika menyebut dirinya “sibuk”,ada juga yang berpersepsi semakin sibuk diri ini,semakin dekat kita dengan kesuksesan, namun kalau kita mau membuka mata, kenyataannya tidakklah begitu bukan?. Buktinya banyak sekali orang yang selalu sibuk dari bangun tidur sampai dengan mau tidur dan tidak memperoleh kesuksesan, baik materi ataupun spiritual. Seorang penulis jernih Chin-Ning Chu yang terkenal levat bukunya Thick Face Black Heart mengatakan bahwa, “kata Cina bagi ‘sibuk’ terdiri dari dua bagian. Satu bagian melambangkan hati manusia dan bagian lainnya melambangkan kematian. Dari dua lambang diatas, arti yang dapat dikembangkan adalah bila seseorang super sibuk, hatinya mati.” Seorang yang sibuk tidak lagi memperhatikan tubuhnya, intuisinya berhenti, dirinya tidak mendengar jeritan hatinya karena terlalu banyak yang bicara dikepalanya. Filusuf abad ke 19 Henry David Thoreau juga pernah mengatakan “ Tidak cukup bila Anda hanya sibuk. Pertanyaanya adalah apa yang Anda sibukan?”

“Sebenarnya saya tidak ingin namun ini kan tuntutan hidup, mau bagaimana lagi?”
Hidup tidak pernah menuntut, kitalah yang menuntut diri kita untuk menjadi dan memperoleh sesuatu, bahkan dalam pencapaian impian tersebut, seseorang rela untuk mengorbankan kedamaian pikirannya. Padahal kita semua sadar bahwa sebenarnya semua impian manusia berujung pada satu hal yang benar-benar dasar yang setiap orang inginkan, yaitu kedamaian pikiran. Kedamaian pikiran inilah yang kita cari dan dengan kedamaian pikiran inilah kualitas hidup dapat diraih.
“Lho kalau kita tidak buru-buru,kerjaan kan tidak akan selesai?”,bedakan antara bekerja dengan cepat dan bekerja dengan ketergesaan. Coba perhatikan irama hidup ini, apakah kita hidup selaras atau hidup dengan selalu merasa dikejar oleh deadline.

Saya mempunyai sahabat yang selalu merasa hidupnya selalu dikejar-kejar, hampir setiap jam alarm pengingatnya bunyi dan setiap kali berbunyi, ia selalu resah karena waktunya dia harus melakukan sesuatu kegiatan lain, sementara kegiatan yang ada sekarang belum selesai. Ini berlangsung bertahun-tahun dan telah menjadi kebiasaannya, selalu ia mengeluh bahwa hidupnya tidak pernah santai. Dia mengorbankan kedamaian pikirannya untuk mengejar impian-impiannya. Sewaktu saya meminta untuk mengurangi yang tidak penting dan berfokus pada yang penting saja, ia menolaknya dan berkata “semuanya penting”. Dia ingin mengambil semua kesempatan, sehingga menjejali hari-harinya dengan penuh. Stephen Covey, penulis buku best seller 7 Habbit berkata “jangan meprioritaskan jadwal Anda tapi jadwalkan prioritas Anda.” Dengan menjadwalkan prioritas kita mulai memilih apa yang benar-benar perlu dan apa yang tidak.ketika kita sudah memisahkan apa yang benar perlu dan tidak, kita akan sadar bahwa banyak sekali hal-hal yang tidak perlu yang menyita waktu kita dan sebaliknya banyak hal-hal yang perlu dan baik namun tidak sempat di kerjakan. Seorang teman tidak mempunyai waktu berolaraga walaupun hanya 30 menit per harinya namun bisa menghabiskan waktu berjam-jam di depan televisi, yang lain tidak punya waktu untuk membaca namun bisa bergosip ria sepanjang sore hingga malam dengan teman-temannya. Di India ada pepatah “ Kekurangmampuan untuk melihat apa yang lebih penting atau lebih bermanfaat adalah bahaya terbesar”

Banyak dari teman-teman yang baru memulai berbisnis termasuk saya dulunya punya prinsip yang penting mengumpulkan materi sebanyak-banyaknya dahulu ,bekerja mati-matian saat muda karena ingin menikmati hidup di usia tua nanti. Tentu tidak salah dengan prinsip diatas ini namun setelah lama mengamati teman-teman bisnisman tersebut mengapa saya jarang sekali menemukan orang yang sudah terbiasa dengan kesibukannya dan berhasil dalam pencapaian materinya kemudian teringat dan setia dengan janji sewaktu mudanya? Kebanyakan yang saya temui mereka terikat oleh rutinitas dan merasa sayang bila semua yang telah dirintisnya, ditinggal begitu saja.
Dan bila berbicara menikmati hidup di hari tua, saya mempunyai sebuah cerita yang sangat inspiratif yang saya ambil dari buku karya Anthony de Mello, dalam cerita tersebut di ceritakan ada seorang usahawan yang bertemu dengan seorang nelayan yang sedang santai duduk di pinggir pantai dan terlihat sangat menikmati suasana saat itu.
“ Mengapa engkau tidak pergi untuk menangkap ikan?” tanya usahawan itu.
“Karena ikan yang kutangkap telah menghasilkan banyak uang untuk makan hari ini” jawab nelayan itu dengan polosnya.
“Kenapa engkau tidak menangkap lagi lebih banyak daripada yang kau perlukan?” Tanya sang usahawan
“Untuk apa?” tanya nelayan sederhana itu
“Engkau akan mendapat uang lebih banyak” jawabnya “dengan uang itu engkau dapat membeli jala yang lebih besar sehingga tangkapanmu lebih banyak, terus engkau akan mendapatkan banyak uang sehingga bisa membeli perahu motor. Dan dengan perahu motor engkau akan melaut lebih jauh dan akan mendapatkan ikan yang lebih banyak lagi... Nah segera uangmu cukup untuk membeli dua buah kapal. Lalu kau pun akan kaya seperti aku”
“Selanjutnya aku musti berbuat apa?” tanya si nelayan
“selanjutnya kau bisa beristirahat dan menikmati hidup” kata si pengusaha
“menurutmu pendapatmu sekarang ini aku sedang berbuat apa?” kata nelayan puas.

Kita bisa menikmati hidup kapanpun dan dimanapun, sayang sekali kalau kita membatasi diri kita dengan baru akan menikmati hidup dengan syarat punya jumlah tabungan tertentu atau pada usia tertentu.Mungkin indahnya bintang, deburan ombak juga sejuknya udara pegunungan serta merdunya kicauan burung adalah sesuatu hal yang biasa pada saat ini, tapi seiring dengan waktu yg berpacu dengan usia, dimana penglihatan dan pendengaran serta kondisi tubuh yang mulai melemah ,maka bisa jadi semua hal diatas akan berubah menjadi barang antik nan langka

Seperti yang tertulis diatas, sekarang ini kita hidup seperti dalam perlombaan, kita mengumpulkan segala sesuatunya, kita ingin mendapatkan semuanya yang kita inginkan, cinta yang berlimpah, perhatian yang lebih banyak, dihormati lebih sering , rumah yang lebih besar dan uang yang bertambah terus.Manusia benar benar dalam perlombaan mengumpulkan. Henry Louis Bergson yang pada tahun 1927 menerima nobel kesusastraan pernah berujar” makhluk manusia seharusnya tidak di sebut Homo Sapiens “Makhluk yang berpikir” tapi Homo Faber “Makhluk yang membuat benda”. Dalam bahasa inggris pun kita menyebut manusia dengan Human Being, bukan Human Having. Menjadi apa bukan mempunyai apa. Dahulu seseorang yang sukses adalah orang yang bisa menjadikan dirinya sesuatu, ia yang menjadikan dirinya seseorang yang sabar, seseorang yang bisa memberikan petunjuk atau nasehat atau mereka yang mempunyai kemampuan untuk berbuat bagi banyak orang, namun apa yang terjadi sekarang adalah seseorang yang dapat mengumpulkan benda sebanyak-banyaknyalah adalah orang sukses. Kita lupa prinsip keseimbangan, seperti tubuh yang susah bergerak karena membawa banyak benda, begitu pula dengan jiwa kita akan susah untuk bertumbuh bila kita membebaninya. Ada baiknya kita mencontoh alam raya yang selalu berorientasi untuk selalu memberi tanpa memperhatikan apa yang akan di terima. Lihatlah matahari yang selalu memberi tanpa membeda-bedakan, dan karena itu lihatlah segala tanaman tumbuh menghadap ke matahari. Hidup yang mengalir seperti yang dikatakan para tetua kita bukanlah hanya menuruti apa yang hati katakan namun lebih dalam dari itu. Hidup yang seimbang adalah hidup yang selaras dengan alam dimana kita berorientasi selalu dengan memberi dan memberi. Dengan indahnya Winston Churchill berkata “ Kita hidup dari apa yang kita dapatkan dan kita bahagia dari apa yang kita berikan”.
Sekali lagi Hidup bukanlah sebuah perlombaan mengumpulkan sebanyak-banyaknya namun apa yang kita bisa berikan sebelum meninggalkannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar