About me?

Foto saya
I'm humble and friendly

Selasa, 08 Maret 2011

Sebuah Note dari B. J

Aku menemukan seonggok daging di tumpukan friendlist di facebook. Hey, hey, hey siapa dia? For your information, ketika ada yg meng-add ku di situs pertemanan yang satu entuh, hal pertama yang ku cross-check adalah mutual friends yang kemudian dilanjutkan dengan…..Notes! Yuppie binti he-euh, notes! Bukan informations, bukan wall, bukan kumpulan sejibun foto, atau sebangsanya. Aku suka membaca, sesuai dengan ayat pertama yang turun dari kitab suci yang saya yakini, "iqraaa…" atau "bacalah…" Buat ku modal utama untuk menjadi seseorang yang cerdas lahir dan batin adalah…..Membaca. Apapun itu, dari al-quran sampai stensilan!

Aku tidak pandai membaca pikiran namun aku suka membaca tulisan. Aku suka menerka-nerka, kira-kira apa ya yang dipikirkan sang author ketika membuat tulisan tersebut dan sampailah aku pada…..Orang ini! Kenalkan namanya B. J mahasiswa yang terancam lulus dari sebuah universitas kenamaan, UGM, kalau kata ku Universitas Gigireun Masjid, kalau kata dia, Universitas Gaul Mameeeeen.  B.J asli Tasikmalaya, anak seorang kyai kenamaan, punya hobby ngegombal, dan sayang banget sama emaknya.

Aku  yakin semua teman-teman pernah mengalami hal-hal yang Bung B.J rasakan. Bingung meniti karir! Kalau kata si Renee Suhardono mah ita sedang mengalami masa-masa, when "your job is NOT your career!"

Kita merasa kehilangan arah, 12 tahun lebih sekolah, berasa nggak ada gunanya, ketika kita mati-matian mencapai nilai minimum di kala UAN. Namun semuanya tampak selayaknya sebuah kiasan ketika mencari sebuah pekerjaan. Hehehehe! Aheeeeey~

Tenaaaaaang, aku juga mengalami hal yang serupa kok. Bingung mau jadi apa nanti? Pokoknya pengen hidup kaya, mati masuk surga! Tapi sayangnya di antara 'hidup bergelimang harta' dan 'mati ditemani para bidadara', ada rasa muak, menjijikan, pikasebeleun, menggelikan, dan hal-hal yang buat kita pegen nyimpen kedua tangan basah kita di atas colokan listrik.

Namun, after I read what he had been writing, I felt that….Yup! Yup! Yup! Selamat membaca déh, biar ngerasain hal yang sama atas apa yang ku rasakan. Atas se-izin beliau ku dapat meng-share semuanya sama teman-teman sadayana, sakulawargi, sedunia!!!

So, here we go….









“Banyak generasi telah bekerja dalam pekerjaan yang mereka benci, hanya supaya mereka bisa membeli barang-barang yang tak mereka perlukan”

Ucapan itu sangat menampar ku. Aku menemukannya dalam buku ”Spiritualitas dan Realitas Kebudayaan Kontemporer” yang saya beli minggu lalu. Ucapan itu adalah potongan dialog film ”Fight Club”, diucapkan oleh tokoh Tyler Durden. Dan begitu menemukan ucapan itu, aku terpanggil untuk menulis (lagi).

Kalau aku boleh jujur, aku sudah menyadari itu dari dulu. Aku selalu merasa semua orang punya minat dan bakat masing-masing. Dan semua orang (seharusnya) punya jalan yang berbeda untuk mengembangkan minat dan bakat yang berbeda-beda. Susah rasanya membayangkan seorang atlet basket tertarik pada kajian filsafat, sebagaimana sulitnya mengajak seorang sastrawan untuk bermain futsal. Dan jurusan-jurusan kuliah yang sedemikian beragamnya itu memungkinkan untuk setiap minat dan bakat menemukan jalannya sendiri-sendiri. Sengaja ku kerucutkan ke dunia perkuliahan, agar terasa lebih konkret.
 

Aku menyadari itu ketika duduk di kelas dua SMA. Orang-orang selalu berpikir aku punya modal yang cukup untuk masuk kelas IPA dan kuliah di Fakultas Kedokteran, termasuk Bunda dan Ayah. Mungkin, bagi kebanyakan orang, profesi dokter adalah profesi yang prestisius, menggambarkan orang cerdas dengan penghasilan selangit. Aku pun sedikit terbawa suasana. Aku sempat masuk kelas IPA. Ternyata, di kelas IPA aku malah semakin yakin, bahwa aku sedikit bawel, punya sedikit modal kecerdasan verbal (istilah kerennya). Akhirnya, aku memutuskan pindah ke kelas IPS.

Banyak yang menghujat, termasuk ibu ku. Betapa kecewanya dia, karena akhirnya ia harus bisa menerima kenyataan anak sulungnya ga bakal jadi dokter. Tapi, dalam hal ini, aku terpaksa harus durhaka. Toh, yang sekolah, yang kuliah, tetap aku. Bunda ku memang berperan, memberi uang tiap bulan. Tetapi, ia tidak akan ikut-ikutan memikirkan praktikum di Fakultas Kedokteran yang mengancam aku mati berdiri dengan mata melotot dan usus terburai di laboratorium. Dan aku tak mau hidup ku berakhir secepat dan setragis itu.

Jadi dokter? Pintar, cantik, kaya, siapa yang ga mau? Tapi aku tak berminat dengan citra semacam itu. Kalaupun pun memaksakan diri, dan ku mampu, tetap saja hidup ku tidak akan menyenangkan. Aku akan memaksakan diri untuk menempuh studi sekian tahun, dengan beban belajar dan biaya sekian banyak, lalu mendapatkan izin praktek dokter. Lancar dan tidak beresiko, bukan? Kalau tiba-tiba aku melakukan kesalahan, apa yang bisa aku lakukan? Aku membunuh orang dengan dalih salah suntik, lalu di pengadilan aku bilang: ”Maaf, yang mulia, sebenarnya dari awal saya sama sekali tidak berminat jadi dokter. Saya terpaksa jadi dokter demi membahagiakan ibu saya, bukan karena saya ingin menyembuhkan pasien”. Dan aku akan dicap sebagai dokter paling konyol sepanjang sejarah.

Maka, aku pun banting setir. aku masuk kelas IPS, impian ku: kuliah di Fakultas Ekonomi jurusan apapun. Tapi, lagi-lagi aku harus berkompromi. Tuhan ternyata lebih berkenan kalau aku jadi mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan jurusan Lenteng Agung-Depok hahahaha, Jurusan Bahasa Inggris dinkkk maksudnya, yang nyaris tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Aku tak mau menyakiti hati bunda ku untuk kedua kalinya. Katanya: ”Tak apalah kakak gagal jadi dokter, yang penting kakak harus jadi Dosen paling gaaa atau jdai pembaca berita (mengingat anak nya punya bakat yg mumpuni buat jd presenter tp selalu gagal klo ikut audisi)!”. Alamak! Tak sadarkah dia, betapa susahnya membayangkan manusia dengan muka seperti aku sedang membaca berita di layar televisi. Tapi, ya sudahlah. Bukankah rahmat Tuhan bergantung pada restu bunda?

Dan 4 tahun berlalu. Ada banyak kesempatan kerja yang menanti di ujung sana, membuat ku ingin cepat-cepat wisuda. Jadi pembaca berita? Tampaknya aku akan mirip dengan ucapan di atas: saya bekerja dalam profesi yang saya benci demi mendapatkan apa yang tidak saya butuhkan. Ya, aku benci dunia citra, aku benci harus jaim. Dan tampaknya aku tak butuh penghasilan jutaan rupiah demi memuaskan hasrat ku nongkrong di warung burjo dan merokok kretek Djarum 76. Ya, aku memang jelek dan goblok. Dan aku tak malu untuk mengakuinya. Jelek ya jelek. Goblok ya goblok. Lalu, sejak kapan orang jelek dan goblok jadi pembaca berita?

Lantas, apa profesi yang aku impikan setelah lulus seperti sekarang ini?
Merujuk pada kecenderungan ku akhir-akhir ini, yang cukup membuat teman-teman ku gerah dan mencibir ku dengan bertubi-tubi, profesi impian ku adalah:
Penulis spesialis curhat!
Ha ha ha....

Tak ada hubungannya dengan dokter, dosen atau pembaca berita?
Tak apalah.

Aku hanya ingin bekerja dalam pekerjaan yang benar-benar aku sukai, demi mendapatkan hal-hal yang benar-benar ku perlukan.

Yeah.....






Sekian dan terimakasih, semoga tulisan ini bisa menjadi renungan di kala malam. Eh tapi, malem-malem tuh enaknya pacaran kali ya??? Bukan merenung. Dan aku pun mendapatkan sebuah solusi dari salah seorang teman ku, Mawar (bukan nama sebenernya, red), "enaknya tuh Vie, malem-malem merenung jorok bersama pacar!" Hoahahahahahahaha! Ckckckckckckck, pergaulan anak muda jaman sekarang…..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar